Untuk Para Pemimpin, banyak mendengarlah (catatan nasehat)
Nasehat
bagi para pemimpin untuk selalu banyak mendengar. Mendengar dengan
telingannya, dengan matanya dan dengan hatinya sehingga respon, tindakan
dan keputusan yang diambil oleh pemimpin menjadi lebih tepat dan
bijaksana. Berikut gambarannya:Seorang raja
yang sudah memasuki usia senja sedang mempersiapkan putranya agar suatu
ketika kelak dapat menggantikan dirinya. Ia mengirim putranya pada
seorang bijak untuk belajar mengenai kepemimpinan. Setelah menempuh
perjalanan panjang, bertemulah putra mahkota ini dengan si orang bijak.
”Aku ingin belajar padamu cara memimpin bangsaku,” katanya.
Orang bijak menjawab, ”Masuklah engkau ke dalam hutan dan tinggallah disana selama setahun. Engkau akan belajar mengenai kepemimpinan.”
Setahun berlalu. Kembalilah putra mahkota ini menemui si orang bijak.
”Apa yang sudah kau pelajari?” tanya orang bijak.
”Saya sudah belajar bahwa inti kepemimpinan adalah mendengarkan,” jawabnya.
”Lantas, apa saja yang sudah engkau dengarkan?”
”Saya sudah mendengarkan bagaimana burung-burung berkicau, air mengalir, angin berhembus dan serigala melonglong di malam hari,” jawabnya.
”Kalau hanya itu yang engkau dengarkan berarti engkau belum memahami arti kepemimpinan. Kembalilah ke hutan dan tinggallah disana satu tahun lagi,” kata si orang bijak.
Walaupun penuh keheranan, putra mahkota ini kembali mengikuti saran
tersebut.
Setahun berlalu dan kembalilah ia pada si orang bijak.
”Apa yang sudah kau pelajari,” tanya orang bijak.
”Saya sudah mendengarkan suara matahari memanasi bumi, suara bunga-bunga yang mekar merekah serta suara rumput yang menyerap air.”
”Kalau begitu engkau sekarang sudah siap menggantikan ayahmu. Engkau sudah memahami hakekat kepemimpinan,” kata si orang bijak seraya memeluk sang putra mahkota.
Setahun berlalu dan kembalilah ia pada si orang bijak.
”Apa yang sudah kau pelajari,” tanya orang bijak.
”Saya sudah mendengarkan suara matahari memanasi bumi, suara bunga-bunga yang mekar merekah serta suara rumput yang menyerap air.”
”Kalau begitu engkau sekarang sudah siap menggantikan ayahmu. Engkau sudah memahami hakekat kepemimpinan,” kata si orang bijak seraya memeluk sang putra mahkota.
Syarat utama kepemimpinan adalah kemampuan mendengarkan.
Manusia diciptakan dengan dua telinga dan satu mulut. Ini adalah isyarat bahwa kita perlu mendengar dua kali lebih banyak sebelum berbicara satu kali. Mulut juga didisain tertutup sementara telinga kita dibuat terbuka. Ini juga pertanda bahwa kita perlu lebih sering menutup mulut dan membuka telinga. Prinsip dasar inilah yang sebetulnya perlu dipahami oleh seorang pemimpin dimana pun ia berada, apakah ia memimpin negara, perusahaan, organisasi, rumah tangga maupun diri sendiri. Semua masalah yang terjadi di dunia ini senantiasa bermula dari satu hal: Kita terlalu banyak bicara tapi kurang mau mendengarkan orang lain.
Manusia diciptakan dengan dua telinga dan satu mulut. Ini adalah isyarat bahwa kita perlu mendengar dua kali lebih banyak sebelum berbicara satu kali. Mulut juga didisain tertutup sementara telinga kita dibuat terbuka. Ini juga pertanda bahwa kita perlu lebih sering menutup mulut dan membuka telinga. Prinsip dasar inilah yang sebetulnya perlu dipahami oleh seorang pemimpin dimana pun ia berada, apakah ia memimpin negara, perusahaan, organisasi, rumah tangga maupun diri sendiri. Semua masalah yang terjadi di dunia ini senantiasa bermula dari satu hal: Kita terlalu banyak bicara tapi kurang mau mendengarkan orang lain.
Tetapi, mendengarkan dengan telinga sebenarnya baru merupakan tingkat pertama mendengarkan.
Seperti
yang ditunjukkan dalam cerita di atas, seorang pemimpin bahkan dituntut
untuk dapat mendengarkan hal-hal yang tak bisa didengarkan, menangkap
hal-hal yang tak dapat ditangkap, serta merasakan hal-hal yang tak dapat
dirasakan oleh orang kebanyakan.
Seorang pemimpin perlu mendengarkan dengan mata.
Inilah
tingkat kedua mendengarkan. Dalam proses komunikasi ada banyak hal yang
tidak dikatakan tapi sering ditunjukkan dengan tingkah laku dan bahasa
tubuh. Orang mungkin mengatakan tidak keberatan memenuhi permintaan
Anda, tapi bahasa tubuhnya menunjukkan hal yang sebaliknya.
Seorang karyawan yang merasa gajinya terlalu rendah mungkin tidak
menyampaikan keluhannya dalam bentuk kata-kata tetapi dalam bentuk
perbuatan. Seorang yang merasa bosan dengan lawan bicaranya juga sering
menunjukkan kebosanan itu lewat gerakan tubuhnya. Nah, kalau Anda tidak
dapat menangkap tanda-tanda ini, Anda belum memiliki kepekaan yang
diperlukan sebagai pemimpin.
Tingkat ketiga adalah mendengarkan dengan hati.
Inilah tingkat mendengarkan yang tertinggi. Penyair Kahlil Gibran
menggambarkan hal ini dengan mengatakan: ”Adalah baik untuk memberi jika
diminta, tetapi jauh lebih baik bila kita memberi tanpa diminta.” Kita
memberikan sesuatu kepada orang lain karena penghayatan, rasa empati dan
kepekaan kita akan kebutuhan orang lain. Disini orang tak perlu
mengatakan atau menunjukkan apapun. Kitalah yang langsung dapat
menangkap apa yang menjadi kebutuhannya. Komunikasi berlangsung dari
hati ke hati dengan menggunakan ”kecepatan cahaya”.
Mari kita simak, beberapa ajaran tersebut di atas dalam Quran dan
Hadist, agar kita yakin bahwa di jagad Islam teori itu telah diberikan.
Bahkan sejak dari alam ruh, kita sudah dijanji dan berikrar untuk
sami’na wa-atho’na – mendengarkanlah dan taatlah.
Sejak dini kita sudah dijanji, sudah diingatkan untuk siap
mendengarkan kapan saja, dimana saja dan bagaimana saja keadaannya.
Sejak kita baligh, kita sudah dibekali dasar kepemimpinan yang utama
yaitu siap mendengarkan. Maka tak salah jika Nabi mengatakan kullukum
roin – Kalian semua adalah pemimpin. Pemimpin untuk dirinya sendiri,
pemimpin untuk keluarganya dan menjadi pemimpin umat. Jadi tak ada kata
tidak siap, tidak mampu dan tidak sanggup. Semua harus sak dermo sebab
sejak dari awal mula kita sudah dibekali dasar-dasar kepemimpinan.
Permasalahan sebenarnya adalah ketidakmampuan kita untuk mengasah
pendengaran kita menjadi lebih tajam.
Nabi mencontohkan untuk selalu mendengarkan pada siapapun
Masih ingatkah kita dengan cerita Dzulyadain? Ketika nabi sholat dhuhur 2 rekaat, semua yang hadir terdiam. Tampillah Dzulyadain membuka percakapan: “Nabi apakah engkau lupa atau ada perkara baru, kok sholat dhuhurnya 2 rekaat?” Kemudian nabi tabayyun; ‘Benarkah apa yang dikatakan Dzulyadain?’ “Benar nabi,” jawab sahabat. Akhirnya Nabi menambah kekurangan sholat tersebut dan mensyukuri apa yang telah diperbuat oleh Dzulyadain. Nabi mau mendengarkan, bahkan dari orang tidak terkenal sekalipun.
Masih ingatkah kita dengan cerita Dzulyadain? Ketika nabi sholat dhuhur 2 rekaat, semua yang hadir terdiam. Tampillah Dzulyadain membuka percakapan: “Nabi apakah engkau lupa atau ada perkara baru, kok sholat dhuhurnya 2 rekaat?” Kemudian nabi tabayyun; ‘Benarkah apa yang dikatakan Dzulyadain?’ “Benar nabi,” jawab sahabat. Akhirnya Nabi menambah kekurangan sholat tersebut dan mensyukuri apa yang telah diperbuat oleh Dzulyadain. Nabi mau mendengarkan, bahkan dari orang tidak terkenal sekalipun.
Di dalam Quran sudah dibeberkan ayat-ayat baik yang memerintahkan
sami’na maupun akibat-akibat orang yang tidak mau sami’na. Dan
frasa-frasa tersebut telah menunjukkan tidak sekedar sami’na –
mendengarkan, tetapi lebih jauh dari itu sami’na dalam arti
memperhatikan. Ingatkah kita kalimat sami’na wan’dhurna? Jadi itu semua
sudah ada dalam quran dan banyak lagi lainnya, apalagi dalam hadist.
Maka,
Jadilah kita sebagai pemimpin yang selalu banyak mendengar
sehingga respon, tindakan dan keputusan yang kita ambil menjadi lebih
tepat dan bijaksana.
Sumber :
https://aselabar.wordpress.com/2011/01/26/untuk-para-pemimpin-banyak-mendengarlah-catatan-nasehat/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar